ANALGETIK
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Nyeri adalah perasaan dan emosional yang tidak enak yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala dan memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsang nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi (tingkat dimana nyeri dirasakan pertama kali atau intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasa nyeri) berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan yaitu pada 44-45 derajat Celcius.
Mediator nyeri antara lain dapat menyebabkan reksi radang dan kejang-kejang yang menginaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nociceptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan diteruskan ke otak melalui jaringan lebat di tajuk-tajuk neuron dengan amat banyak sinaps via sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus kemudian impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.
Berdasarkan proses terjadinya nyeri, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika lokal
3. Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum.
Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).
Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Alkaloid candu alamiah dan sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon, hidrokodon, dan dionin.
2. Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari :
a. Petidin dan turunannya, fentanil dan sufentanil
b. Metadon dan turunannya:dekstromoramida, bezitramida, piritramida, dan d-ptopoksifen
c. Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin.
Efek morfin terhadap Sistem Saraf Pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas tersa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan mofin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin.
Analgetika Perifer (non-narkotik)
Obat obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut:
1. Salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat
2. Derivat-derivat p-aminofenol:fenasetin dan parasetamol
3. Derivat-derivat pirozolon:antipirin,aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-turunannya
4. Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat.
Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.
Analgetika-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tingi. Jadi, analgetik-antipiretik dalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium
Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.
Secara fungsional dibedakan dua jenis reseptor yang dapat menyusun dua system serabut berbeda :
a. mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-delta bermielin
b. termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tidak bermielin.
Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat awal kontak ini, bertemu tidak hanya saraf aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi disini juga terjadi refleks somatic dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan waktu tangan tersentuh benda panas, terbentuknya eritema lokal) melalui interneuron. Disamping itu, pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melalui sisitem penghambat nyeri menurun.
Pembentukan impuls nyeri terjadi melalui interneuron pada neuron-neuron selanjutnya yang menyilang pada sisi yang lain dan menuju ke arah pusat dalam tractus spinothalamicus, yang terbagi dalam :
a. tractus palaeospinothalamicus yang tua secar filogenetik, yang mengandung terutama serabut C
b. tractus neospinothalamus yang lebih muda secara filogenik, yang terutama mengandung serabut A-delta
1. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika lokal
3. Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum.
Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).
Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Alkaloid candu alamiah dan sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon, hidrokodon, dan dionin.
2. Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari :
a. Petidin dan turunannya, fentanil dan sufentanil
b. Metadon dan turunannya:dekstromoramida, bezitramida, piritramida, dan d-ptopoksifen
c. Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin.
Efek morfin terhadap Sistem Saraf Pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas tersa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan mofin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin.
Analgetika Perifer (non-narkotik)
Obat obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut:
1. Salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat
2. Derivat-derivat p-aminofenol:fenasetin dan parasetamol
3. Derivat-derivat pirozolon:antipirin,aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-turunannya
4. Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat.
Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.
Analgetika-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tingi. Jadi, analgetik-antipiretik dalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium
Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.
Secara fungsional dibedakan dua jenis reseptor yang dapat menyusun dua system serabut berbeda :
a. mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-delta bermielin
b. termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tidak bermielin.
Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat awal kontak ini, bertemu tidak hanya saraf aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi disini juga terjadi refleks somatic dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan waktu tangan tersentuh benda panas, terbentuknya eritema lokal) melalui interneuron. Disamping itu, pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melalui sisitem penghambat nyeri menurun.
Pembentukan impuls nyeri terjadi melalui interneuron pada neuron-neuron selanjutnya yang menyilang pada sisi yang lain dan menuju ke arah pusat dalam tractus spinothalamicus, yang terbagi dalam :
a. tractus palaeospinothalamicus yang tua secar filogenetik, yang mengandung terutama serabut C
b. tractus neospinothalamus yang lebih muda secara filogenik, yang terutama mengandung serabut A-delta
Daftar Pustaka
Siswandono. 2016. Kimia Medisinal. Unair Press, Surabaya.
Beale, J. M dan J. H. Block. 2011. Organic Mediinal and Pharmaceutical Chemistry. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
PERMASALAHAN
PERMASALAHAN
- Bisakah sediaan analgetik dibuat dalam bentuk sediaan lain selain oral ?
- Kenapa daya analgetik antara codein dan morfin berbeda?
- Bagaimana mekanisme Asam salisilat sehingga dapat menyebabkan efek samping asma?
Hai wahyudi , saya akan mencoba menjawab pertanyaan no 3 tentang ES asma yang ditimbulkan oleh asam salisilat
BalasHapusAsam salisilat trmasuk dlm golongan NSAID yang bekerja menghambat enzim spesifik pada COX sehingga asam arakidonat sepenuhnya disintesis menjadi leukotrin dan terjadi produksi berlebihan leukotrin yang menyebabkan terjadinya penumpukan,sehingga kadar keukotrin meningkat dan menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi( penyempitan bronkus saluran pernafasan) dan berefek timbulnya asma
saya akan membantu menjawab no 2
BalasHapusmenurut widjajanti (1991) perbedaan yang meliputi daya analgesiknya.keamanannya dan efek samping yang ditimbulkan yaitu
1.daya penglihatan rasa nyeri morfin jauh lebih besar dari pada codein
2.penggunaan codein lebih aman dari pada morfin dan
3.kerja ikutan codein juga lebih sedikit seta hanya mengakibatkan ketagihan yang lemah.
Hai wahyudi saya akan menjawab no 1
BalasHapusmnrt saya sediaan yg bs di kombinasi yaitu tablet dan patch krn utk tablet meminimalisir nyeri secara oral dan patch scra topikal
Hai wahyudi,informasi yang manarik,saya akan mencoba menjawab pertanyaan no 3.
BalasHapusSemua jenis analgetik golongan asam salisilat menyebabkan penyempitan bronkus (asma) sebagai akibat dari cara golongan ini dalam menghambat COX sehingga leukotrien terbentuk. LT1 ini adalah senyawa yang menyempitkan bronkus (bronkokonstriksi) sehingga menyulitkan pernapasan. Untuk itu obat asam salisilat tidak boleh diberikan kepada penderita asma
Saya akan menjawab no 1 yakni dapat digunakan yakni patch yang dapat menurunkan efek samping seperti sediaan oral
BalasHapusTerimakasih atas artikelnya sangat bermanfaat sekali☺️👍🏻
BalasHapus